Super Ego Part 7
Yang baru baca, biar nggak bingung ceritanya bisa cek Part I - 4 di siniya
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penyakit insom gue balik
lagi setelah beberapa bulan ini mulai membaik. Semalam
bahkan gue nggak bisa tidur sama sekali, gue tahu sebesar itu efeknya sama diri
gue tentang fakta baru dari Disa. Dia bisa mengendalikan gue, itu yang gue tahu
sejak mengenalnya dan belum ada perempuan manapun bisa bikin gue kayak gini.
Setelah bertahun-tahun gue hanya have fun dengan perempan mana aja yang mau
sama gue, hidup berasa ringan. Tapi seringan itu bikin hidup gue nggak ada
point nya. Dan kemdian dia datang, memberkan gue point yang gue cari selama
ini. Wah gue benci kalo udah ngrasain hal-hal semacam ini. Terakhir gue
ngrasain ini gue bakal berjuang mati-matian buat dapatin point yang gue cari
dan begitu dapat gue dihancurin gitu aja. Sudah hamper lima tahun lebih dan gue
masih saja ingat.
Jujur gue kaget dengan apa yang baru gue
tahu tentang Disa, tapi lebih dari itu pensaran gue mengalahkan segalanya.
Sudah beberapa hari sejak Disa
mengatakan bahwa Naya adalah anaknya, dia susah dihubungi dan gue
kesulitan bertemu dengan nya. Dia jarang di Unitnya, udah nggak pernah berenang pagi-pagi di rooftop
lagi, pas gue samperin di kantor dia selalu nggak ada.
Oke dia sukses menghindar dari gue beberapa hari ini, tapi gue nggak kehabisan
akal. Gue menghubungi dia melalui pak Teddy, ya cara gue licik tapi hanya itu
sekarang yang terfikirkan.
“
Hai.” Sapaan itu datang bersamaan dengan sosok yang memenuhi isi otak gue
belakngan ini. Dia langsung duduk berhadapan dengan gue dan menaruh tas tangan
nya di kursi sebelah. Kita janjian di tempat makan dekat kantor nya. Itu pun
setelah gue harus banget minta ijin sama Pak Teddy buat ajak dia keluar.
“
Pinter ya sekarang, bikin janji nya melalui pak Teddy. Dia atasan ku bukan asisten
ku.”
Gue cuman tersenyum menanggapinya. “ Nggak
tahu pakai cara apalagi, loe ngilang gitu aja.”
“
Loe tahu dimana gue tinggal, loe tahu dimana gue kerja.”
“
Dan loe tahu banget gue bakal nyari kesana jadi loe nggak ada di sana.”
“
Saya dikantor setiap jam kantor pak Devan.”
“
Disa Please, susah susah gue nyari cara buat ketemu loe bukan buat berantem
nggak penting kayak gini.”
“
Terus.”
“
Kita butuh bicara sebagai orang dewasa. Dari awal gue bilang gue tertarik sama
loe, bukan berarti gue tahu satu sisi hidup loe yang lain kemudian loe
menghindar seperti ini.”
“
Gue nggak menghindar.” Potong nya cepat.
“
Terus.”
“
Gue cuman ngasih loe waktu buat berfikir lagi.”
Dia ngasih jeda, gue juga nggak mau bicara
dulu. Gue diam. Saat yang bersamaan waiters datang membawa buku menu, gue cuman
memesan apapun yang pertama kali gue baca di buku menunya. Caramel latte sementara
Disa hanya memesan air putih dan chees muffin.
“
Loe bukan tipikal yang suka dengan keseriusan its mean perasaan.” Dia membuka percakapan
lagi. “ Begitu loe bilang tertarik
sama gue dan loe ngontrol diri untuk tidak nyium gue waktu di apartemen, gue mulai perfikir
kalo loe lagi nggak main-main sama gue. Makanya gue bolehin loe tahu tentang
gue dan Naya.”
Dia berhenti bicara ketika waiters kembali
datang membawa minuman pesanan kami.
“
Gue ngasih jeda waktu buat loe berfikir kembali, dengan kondisi gue yang
sekarang.”
“
Its mean loe nagsih gue kesempatan buat lebih deket lagi sama loe?”
Dia mengangguk, walaupun gue lihat dia
dengan keraguan.
“
Kalau Naya nggak jadi masalah buat loe. Gue juga nggak akan ngebiarin Naya
dekat dengan sembarang orang.” Tambahnya.
“
Loe tahu apa yang ada dalam pikiran gue setelah malam itu?” pertanyaan retoris.
Disa paham, jadi dia hanya diam menatap gue dengan tatapan khas nya dia.
“
Gimana caranya gue bisa kenalan sama Naya. Dia cantik banget.”
Disa tersenyum lebar, dan gue lega
mengetahuinya. Beneran gue nggak pernah ngrasain selega ini dapat senyuman dari perempuan.
“
Loe masih berhubungan dengan mantan suami loe untuk mengurus Naya?”
Jawaban Disa terpotong kembali dengan waiters
yang datang membawa Muffinnya. Setelah waiters itu pergi Disa masih belum
menjawab malah menghabiskan muffinya.
“
laper ya?” Tanya gue. Dia mengangguk masih menikmati muffin nya.
“
Mau pesen makan?”
“
Gue kudu balik lagi ke kantor.”
“
Jawab dulu.”
“
Apa?”
“
Hubungan loe sama matan suami loe.”
Dia berhenti sebentar, Nampak sedang
berfikir.
“
Gue belum pernah punya suami.”
Gue mengeryit, dia apa?
“
Maksutnya.”
“
Hampir.” Dia keliatan gugup dan ini pertama kalinya gue lihat dia kayak gitu. “ Gue udah
ditunggu team gue nih, ada meeting penting. Loe balik ya.”
“
Jelasin Dis.”
“
Oke gue jelasin, kita ketemu setelah gue selesai kerja.”
“
Gue tunggu dimana?”
“
Loe balik aja ke apartemen, nanti gue nyusul.”
***
Disa menepati janjinya untuk datang menyusul
ke apartemen gue ketika jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih. GUe udah
setengah mati penasarn nungguin dia datang ngasih penjelasan. Sambil nunggu itu gue ngerjain apapun yang bisa
ngalihin pikiran termasuk pergi ngegym ke sport center di lantai bawah dan
baliknya barengan dengan Disa yang baru mau masuk lift mau ke atas.
“
Kok baliknya jam segini banget.” Protes
gue begitu kita sampe di flat.
“
lagi banyak project.”
“
Kamu mandi, aku pesenin makan. Belum makan kan.”
Dia hanya duduk di sofa ruang tengah sambil
melepas blazernya menyisakan kemeja putih tanpa lengan. Dia mulai mengikat
rambut sebahunya ke atas dan seperti biasa kegiatan perempuan mengikat rambut adalah
kegitan favorit gue. Gue menikmati pemandangan ini. Dia seksi banget sumpah,
otak gue jalan jalan kemana-mana.
“
Boleh ya mandi sini?”
Gue tertawa mendengarnya. “ Pakai kamar
mandi luar kalau risih pakai kamar mandi gue. Gue ambilin handuk baru.” Gue berjalan ke arah kamar dan
mengambil handuk. Sementara dia mandi gue pesenin makan melalui room service.
“
Kenapa pindah dari apartemen? Tanya gue sambil perhatiin dia menikmati cream soupnya
setelah selesai mandi dan ganti baju. Nggak sepenuhnya ganti baju sih karena dia cuman pakai kaos gue yang
kebesaran dibadannya.
“
Jatah sewa nya cuman satu bulan aja. Kok tahu kalauu gue udah pindah.”
“ Gue yang punya gedung
ini, gampang kan cara nyari tahunya.”
Dia memandang gue nggak percaya kemudian
tertawa. “ Waaahh sombongnya.”
Dia menghabiskan cream soup dan membawa
mangkuk nya ke bak cuci. Gue ngintilin dia di belakang kemudian duduk
di kursi bar sambil menunggu dia selesai mencuci.
“
Dis.”
“
Hemm”
“
Mau ya tinggal di sini.”
“
Tinggal bareng? Sama loe? Disini?” dia geleng-geleng.
“
Gue kasih kesempatan buat kenal gue lebih jauh bukan berarti gue kasih ijin
buat tinggal bareng juga ya.”
“
Bukan, lagian GR banget. Tingal di apartemen loe yang dulu.”
“
Kontraknya udah selesai Dev. Gue cuman dapat jatah satu bulan sewa dari kantor
karena proyek yang di pandanaran itu.”
“
Bisa diperpanjang kok.”
“
Enggak ah, boros.”
“
Tinggal nempatin doang, nggak usah pikir biaya sewa nya.”
Die menyelesaikan mangkuk terakhirnya
kemudian berjalan ke arah gue.
“
Gue masih mampu buat sewa bulanannya, makasih.”
“
Terus?”
“
Masih pengen nempatin apartemen gue yang lama di Gajah Mada.”
“
Tinggal berdua sama Naya?”
“
Naya sehari-hari sama Ibu di rumah. Gue ketemu Naya kalau weekend aja pas nggak
ada jadwal kerja atau luar kota.” Dia kembali membuka kichen set.
“
Mau teh apa coklat hangat? Gue lihat di kulkas ada banyak coklat.” Tawarnya
sambil memeriksa isi kulkas.
“
Coklat.”
Dia mengangguk kemudian mengambil coklat
batangan dari kulkas.
“
Ceritain tentang loe sama Naya.”
Dia masih sibuk dengan air hangat dipanci
dan teh nya. Sepertinya dia memilih menyedu teh.
“
Gue janda bukan, perawan juga bukan, tapi gue punya anak dan gue belum pernah
punya suami. Gue bingung nyeritain diri gue.” Dia memberikan secangkir coklat
panas dan gue terima. Dia berjalan melewati gue dan berhenti di sofa ruang
tengah sambil menikmati teh nya.
“
Ceritain tentang Naya aja kalau begitu.” Gue menyusul bergabung dengannya di ruang tengah.
“
Dia sudah sembilan tahun, sekarang kelas 4 SD.” Dia menyesap kembali tehnya.
“
Bagaimana bisa loe ngurus dia sendiri sampai sebesar itu?”
Dia mengambil jeda sebentar. “ Bapaknya
nggak mau tanggung jawab, kabur gitu aja sampe sekarang gue nggak tahu di mana. Gue
harus bergantung sama siapa lagi buat nguatin diri kalau gue sendiri nggak
diterima dikeluarga besar gue. Gue bahkan belum lulus SMA ketika gue tahu kalau
gue lagi hamil. “
“
Keluarga kamu?”
“
Nggak bisa diharepin. Gue dibuang karena takut nama keluarga gue tercoreng. Gue
cabut dan hidup di kota ini.”
“
Sebelumnya di?”
“
Jakarta.”
“
Masih kontak dengan keluarga?”
“
Keluarga gue? Nggak sama sekali.”
Gue diam merhatiin dia lekat-lekat kali ini.
Dia nggak mengelak tatapan gue ataupun membalas, dia hanya diam merhatiin gue. Gue
tahu dia memendam sesuatu, matanya mulai berkaca-kaca. Gue meraih kepalanya ke
pundak gue.
“
Loe gimana?” dia mulai bersuara lagi.
“
Heemm, gue?” gue menunduk merhatiin wajahnya.
“
Ceritain tentang elo.”
Gue menyandarkan punggung ke sofa dan
mencari posisi nyaman. Dia masih menyandarkan kepalanya di bahu gue, gue suka.
“
Gue laki-laki brengsek yang lagi jatuh cinta sama perempuan baik-baik dan luar
biasa.”
Dia mendengus mendengarnya, gue cuman
tersenyum.
“
Seberapa brengsek?”
gue mengusap tengkuk sebentar, bingung mau
jelasin kelakuan minus gue selama ini. “ Lebih brengsek dari yang bisa loe bayangin. Mungkin.”
Jawab gue nggak yakin.
“
Tapi sebrengsek apapun gue, belum pernah hamilin anak orang terus ditinggalin
gitu aja. Kalaupun harus nidurin perempuan itu karena dasar sama-sama mau.”
Dia terdiam sebentar. GUe juga belum pengen
ngelanjutin cerita gue, lebih milih nunggu reaksi dia seperti apa. Kenyataannya emang gue seberengsek
itu. Tapi sebrengsek apapun gue nggak pernah maksa perempuan manapun buat tidur
sama gue, sebelum sampai kasur kita sudah sama-sama sepakat bahwa itu emang
kebutuhan kita. Jadi ngga ada yang dirugikan setelah itu. Diluar kelakuan minus
gue yang itu, selebihnya gue rasa gue baik-baik aja.
“
Seberapa sering having sex sama perempuan diluaran sana?” dia mulai bersuara
lagi. Tenang, nggak seperti dugaan gue. Berati aman.
“
Kalau pas pengen aja sih, nggak tiap minggu juga. Cara pelampiasan gue emang
salah, tapi sejauh ini cuman itu yang berhasil buet gue relax lagi.”
Dia hanya terseyum menanggapinya. Gue
sedikit lega, itu sinyal kalau kelakuan gue setidaknya bisa diterima kan?
Semoga.
“
Terakhir kapan?”
gue berfikir sebentar mengingat-ingat.
“
Sejak Pindah sini, sejak ketemu loe tepatnya.”
“
kenapa gitu?”
“ Gue juga ngga tahu, tiap
ke Club sama Ius bawaanya males nidurin perempuan. Lebih pengen tidur sama loe dari pada perempuan
random di club.” Jawab gue sekenanya. Dia nyubit perut gue yang hanya gue balas
dengan cengiran lebar.
“ Gue memang bukan
laki baik-baik, nggak bisa dibilang buruk juga. Ya seingat gue minus moral gue cuman disejarah sex aja. Selebihnya gue bisa pastiin baik-baik saja. Keberatan sama
masalalu gue yang awur-awuran itu?”
dia mengambil kepalanya dari pundak gue
kemudian menatap gue.
“ Enggak. Gue juga punya masa lalu nggak baik. Semoga loe juga bisa nerima.”
" Udah gue terima sebelum loe tanya."
Disa tersenyum kemudian meraih remote TV yang tergeletak di meja kopi
sebelah. Dia menyalakannya dan memilih saluran televisi.
“ Keluarga loe di mana?” dia masih sibuk nyari saluran telivisi dan gue merhatiin wajahnya dari samping.
“ Keluarga loe di mana?” dia masih sibuk nyari saluran telivisi dan gue merhatiin wajahnya dari samping.
“
Di Jakarta. Oh iya, Lusa gue balik ke Jakarta.”
“
Nggak di Semarang lagi?”
“
Ya balik sini, kan sekarang punya pacar orang sini. Cuman dua hari disana ada
acara tunangan adek.”
“
Oh, adek laki apa perempuan?”
“
Perempuan. Gue punya satu kakak perempuan dan satu adek perempuan. Jadi paling
ganteng setelah papa kalo di rumah.”
“
Dan loe dekat dengan mereka?”
“
Keluarga gue? Ya iyalah. Gue yang bertanggung jawab dengan keluarga kalau nanti
papa kenapa-kenapa. Papa udah tua soalnya, tapi tetep aja ngga pernah mau
ngalah sama gue.”
“
Red Ocean itu, bisnis keluarga loe?”
“
Bukan, Red Ocean murni hasil kerjaan gue sama temen-temen dekat. Kita
bangunnya dari nol banget. Sama sekali ngga ada campur tangan orang tua gue,
kecuali orang tua temen sebagai investor
pertama pada awal berdirinya R.O.”
Disa mendongak menatap gue, lembut. Tiba-tiba pipi gue jadi menghangat. Gue usap pipi Disa beberapa kali, dan dia cuman senyum.
" Gue boleh nanya tentang masa lalu loe? " pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut gue. Kenapa harus itu sih, kenapa nggak nanya gue boleh nyium dia apa enggak sih. Dasaarr.
" Apapun asal jangan nanya tentang bapaknya Naya."
Gue mengangguk antara mengerti dan menyesali kenapa pertanyaan itu yg keluar.
" Tadi siang loe bilang sempet hampir menikah. Kenapa hanya hampir?"
Dia tersenyum sebentar kemudian menyandarkan kembali kepalanya ke pundak gue.
" Karna rencana pernikahan itu ditentang sama keluarga pihak sana."
Oh, oke gue ngerti. Gue nggak mau nanya lagi tentang itu. Kayaknya bakal bikin Disa sedih.
" Gue sadar posisi gue yg sekarang nggak gampang diterima orang begitu saja. Jadi guebjuga harus siap-siap kalau suatu saat keluarga loe juga akan menolak."
Dada gue langsung sesek dengernya. " Jangan dipikirin yang kayak gitu dulu ah, baru juga mulai." Gue usap kepala Disa berusaha menenangkan. Ya menenangkan dia, ya menenangkan pikiran gue juga. Gue jadi inget papa sama mama gue, gimana reaksinya kalo tau tentang Disa. Gimanapun juga menikah itu bukan tentang gue sama pasangan gue aja kan, tapi melibatkan keluarga dan lain-lainnya.
Yah pikiran gue udah lari kenceng aja mikirin nikah. Dan ya, ini pertama kalinya gue kepikiran tentang pernikahan juga. Damn!!
6 komentar
BAru mampir kesini udah part 7 aja.
BalasHapusKudu begadang baca dari satu dah wkwk.
Iya kak, kalau mulai lagi dari part 1 saya begadang juga dong haha..
HapusThanks ya udah baca
Ceritanya bagus Sul... Cuma agak keganggu sama kata ganti saya-aku-gue yang ga konsisten..
BalasHapusSetuju ama Flo, dan tentang keluarga Disa yg nggak konsisten. Etapi kudu baca dari awal nih, biar tahu alurnya
BalasHapusduh, ketinggalan part2 sebelumnya deh..hihihi, Isul nih bikin Peer baru aja
BalasHapusLanjuuut.. sul
BalasHapus