BELAJAR DARI RUMAH UPLIK
Gue nggak tahu kenapa belakangan gue aneh gini, ada yang salah kayaknya. Udah nggak sebahagia dulu
waktu buka Laptop buat sekedar nonton film, nonton Vidio Korea, nonton Vidio
random atau apapun yang sering gue lakuin di laptop. Daya tarik laptop gue berkurang?
Oh tidak, masih sangat menggairahkan untuk bergumul sepanjang hari dengannya
disaat liburan. Well ya, gue udah libur hamper sepekan sejak lebaran termasuk
liburan lebaran kemaren ( Klik Sebeelah ) BERKUDA di SENTOSA STABLE rencana sih niat banget liburan itu bakal nyelesein
seminar gue yang mandek di Tinjauan Pustaka, terus nyambung tulisan gue ke
chapter selanjutnya ( Klik Sebelah ) PESAWAT RETAK ( Chapter 3 ). Ya nggak tahu juga, sampai gini hari nggak kesentuh juga.
Ya buka laptop sih, dengerin music, abis itu tahu-tahu udah larut malam aja.
Mata juga tumbenan manja banget pengen ditidurin cepet, biasanya kalo nggak
sampe subuh belum bisa tidur kan. Ngeselin banget belakangan ini. Cuman pas
bermonog sendiri, nanya lagi kenapa jawaban hati gue selalu “ Nggak apa-apa”.
Tentu
gue akan mengawali tulisan kali ini dengan curhat. You know me so well lah
kalau kata boyband Indonesia anget-anget tahi ayam yang sekarang udah nggak
tahu nasibnya kek mana itu. Tapi selain curhat gue juga mau berbagi.
Pernah dengar kalimat kalau Universitas
terbaik di Dunia ini adalah Universitas kehidupan? Gue rasa siapapun yang
pernah dan mungkin baru denger kali ini harus setuju dengan kalimat itu. Kita
bisa dapat beribu-ribu materi di kampus tempat kita belajar, dari materi
sederhana sampai materi yang bikin bengek tiap kali membacanya, toh semua itu
tetap saja hanya sebatas materi. Palingan susah dikit suruh membuktikan
materi-materi itu dalam bentuk Skripsi. *dan yaahh gue baper lagi inget skripsi
ngomong-ngomong.
Dan menurut gue materi tanpa praktek itu omong kosong. Nggak
usah dengerin dosen loe kalo cuman bisa ngoceh di depan kelas mau sampe mulut
berbusa juga kalau nggak ada bukti dan prakteknya jangan dipercaya. Palingan
juga mereka baca dari buku yang sebenrnya bisa loe baca juga. Kuncinya, kalau
loe mau sedikit lebih rajin baca bukunya, loe bisa lebih pinter dari dosen loe.
Makanya gue males sama dosen yang teksbook banget. Ada noh dosen gue. *demi
keamanan nama disamarkan
Perkara beda kepinterannya
mungkin dosen loe yang rajin baca itu udah benget ngrasain asem manis
hidup dan materi-materi yang dibacakan tadi udah pernah diuji dalam Thesis nya.
Mungkin?? Gue ngak tahu intinya gue nggak suka kebanyakan teori!!
Beruntungnya gue kuliah di jurusan yang nggak 100 % materi.
Ribet sih banyak tugas kuliah yang eksekusi langsung bikin event ini itu,
promosi sana sini, campaign ini itu tapi well itu sepadan dengan hasil yang
didapatkan. Kita nggak sekedar jadi sarjana teori!! Paling tidak selama kuliah
gue jadi ngerti detail proses bikin iklan dari yang nentuin produk, bikin nama
produk, shooting iklan, cara promosi sampai distribusi. Gue kerjain semester
ini. Juga detail-detail lainya bikin event promosi dan segala macam tetek
bengek kegiatan anak Komunikasi lah. Bisa bengek kalau gue jelasin satu persatu
disini, kan ya tiap hari gue juga nyeritain kegiatan kampus gue disini. Intinya
komunikasi itu menyenangkan. That is karna itu passion, menyenangkan ketika
kita bisa jalanin semua aktifitas sesui passion kita kan. Jadi gue baik-baikin
aja, yang buruk gue anggap heppy. So simple.
oke ini udah terlalu banyak curhatnya, ngomong-ngomong
postingan kali ini gue dinilai banget sama dosen gue J so be nice okey :
Well, perjalanan gue kali ini berarti banget. Setidaknya buat
gue pribadi, membuktikan teori Universitas kehidupan tadi. Adalah pak Waljino,
seorang dari desa Pledokan Sumowono sana yang jauh dari kota. Sebuah desa
sederhana meskipun nggak sesederhana perjuangannya untuk bisa sampai sana,
sebuah desa kecil terpencil jauh dari keramaian, sebuah desa terasing tersisih
dari pusat kota.
Ide perjalanan kesana dapat dari dosen gue, bu retno dosen
Jurnalistik Online. Beliau salah satu dosen yang gue suka dikampus
*bukan-bukan. Bukan karena postingan kali ini dinilai langsung sama beliau
terus gue baik-baikin gitu bukan. Ini asli dari hati.
Sama kayak yang udah gue bilang diatas, nggak terlalu suka
sama dosen yang teksbook banget. Kalau bu Retno ini praktisi, beliau seorang
jurnalis dan punya segudang pengalaman yang selalu dibagi dikelas untuk bahan
mengajar. Dan gue suka tipe dosen yang kayak gitu, ada materi yang disampaikan
juga ada pengalaman yang dibagikan.
Jadi untuk tugas akhir Jurnalistik Online kali ini kita
sekelas harus banget datang ke rumah pak Waljino tadi yang letaknya di Sumowo
sana. Pak Waljino sendiri ternyata sudah sangat terkanal di daerah Sumowono
sana sejak 2012. Kenapa terkenal? Karna Pak Waljino adalah Uplik nya desa
Pledokan. Elaah apalagi itu uplik mba? Uplik itu semacam lampu teplok atau
kalau daerah gue bilang itu sentir. Hah apa lagi itu sentir mba? Sentir itu
alat penerangan kalau mati lampu yang masih pakai minyak tanah. Ini gue yang
kampungan apa loe yang kegaulan sentir aja nggak tahu.
*oke abaikan monolog nggak jelas tadi, yang jelas beginilah
rupa uplik
kenapa
gue bilang pak Waljino Uplik nya desa Pledokan? Karena pak Wal ini lah penerang
desa pledokan sana. Pak Wal begitu panggilan akrapnya, punya kepedulian sangat
tinggi bagi desa kelahiranya terutama pada anak-anak nya. Pak Wal punya taman
bacaan untuk anak-anak disana yang dibiayai dengan uang pribadinya!! Nggak
hanya sekedar punya taman bacaan, beliau juga mengajari anak-anak sana jika
mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah. Jadi tiap jam lima sore anak-anak
se usia SD datang ke rumah pak Wal untuk membaca dan belajar.
Selain belajar
pelajaran, pak Wal juga mengajarkan seni seperti karawitan dan seni menari kuda
kepang. Ketika gue Tanya alasan kenapa bikin taman baca untuk anak-anak pak Wal
ini jawab kalau prihatin sama kondisi budaya kita sekarang yang udah di rusak
sama media terutaman media TV dengan tayangan tidak mendidiknya juga media
elektronik bernama Handphone dan tablet! Pak Wal nggak rela kalau generasi
penerus kita tidak berkembang sesui usianya Karena kebanyakan di depan TV
dan Tablet.
Alasan sederhanan itu yang kemudian membuat perubahan besar pada budaya
di desa Pledokan sana. Well, dari penuturan pak Wal sendiri bahwa usaha nya
untuk membuat anak-anak sana lebih gemar mmebaca buku daripada nonton TV dan
bermain tablet sangat miris. Beliau rela menjual motor kesayangan untuk membeli
buku dan raknya untuk dipinjamkan secara cuma-cuma agar anak terbiasa membaca.
Beliau juga jalan kaki dari rumah ke rumah di desa Pledokan sana untuk mengajak
keluarga yang memiliki anak usia SD supaya mau membaca.
Padahal nyoh, di desa sana jarak rumah nya jauh jauh. Tapi
pak Wal ini niat banget dengan harapan kecilnya yang berdampak besar sampai
sekarang. Setelah ajakannya diterima
oleh anak-anak sana sekarang jadi kebiasan rutin bagi anak-anak di desa
Pledokan sana untuk membaca dan belajar seni lainya di rumah pak Wal yang
dikasih nama rumah Uplik. Karena kebiasaan sederhana tersebut, anak-anak di
desa sana sama sekali tidak mengerti tentang keasikan maen handphone dan tablet
kayak ponakan gue! Jam mereka nonton TV pun dapat pengawasan ketat dari para
orang tua yang juga sudah dikasih pengertian sama pak Wal kalau sebaiknya
anak-anak tidak dibiarkan sendiri menonton TV tanpa di control tayangan nya
juga wakyu menontonn nya. Karena nggak ada pengaruh dari barang-barang
elektronik terkutuk itu anak-anak disana masih bisa focus belajar dan nggak
terpengaruh game apalagi game Pokemon go yang sekarang jadi rame banget
diomongin itu. Permainan mereka masih sangat sederhana, menggunakan permaianan
tradisional kayak jaman gue kecil masih main gundu dan kelereng. Kan gue jadi
kangen jaman dimana gue nggak tahu gimana cara SMS atau BBM an dan sekarang
jadi sumber kegalauan itu gengs.
Lebih kaget pas tahu kalau pak Wal ini ternyata background
nya bukan tenaga pendidik. Beliau hanya tamat SMP dan sama sekali nggak ada
pengalaman mengajar anak-anak. Bahkan bebelum memiliki kesibukan mengurus rumah
Uplik itu beliau bekerja sebagai petugas keamanan. Sangat jauh dari kata
pengajar. Well, nggak perlu sekolah pendidikan dulu untuk bisa mengajar kan.
Kayak kalimat yang gue bahas diatas, universitas terbaik itu universitas
kehidupan!! Mereka yang sekolah tinggi dan bergelar sarjana pendidikan belum
tentu bisa kayak pak Wal!! Malahan mereka lebih memilih mengabaikan gelar
tersebut dan tidak mengamalkan ilmunya. Mereka lebih tertarik untuk bekerja
kantoran yang manfaatnya hanya bisa dirasakan sendiri dan kantor tempat dia
bekerja. Ada kok temen gue sendiri yang kayak gitu, dia sarjana pendidikan dan
sekarang malah jadi receptionis.
Betapa mulia nya niat pak Waljino ini gengs!! Gue sempet
sepeecless waktu dengerin pak Wal cerita kemaren, malu juga karena gue sebagai
anak muda yang notaben nya berpendidikan dan seharusnya memiliki pemikiran yang
lebih luas tapi sama sekali belum memberikan kontribusi apapun minimal untuk
desa kelahiran gue! Pikiran gue masih sibuk sama cita-cita pribadi dan
kesenangan gue.
Yang bikin gue tambah malu juga karena pak Wal bener-bener
pakai uang pribadinya untuk membuat rumah Uplik itu. Merelakan penghasilannya
demi harapan mulia yang sebenernya kalau mau dibilang ya siapa sih anak-anak
disana. Ibarat kata kenal juga nggak deket-deket amat, sodara juga bukan kok ya
mauu banget mikir gimana masa depan anak itu kalau hanya bergantung sama gadget
sialan bernama HP dan Tablet itu. Ini jelas karena hati nurani gengs! Panggilan
jiwa! Mereka yang sekolah tinggi-tinggi percuma kalau pada akhirnya hanya
dipakai sendiri kepandaiannya! Nggak memiliki kontribusi apapun dalam
masyarakat, sarjana teori!! Percuma kuliah tinggi-tinggi. Bener nggak sih??
Sayangnya niat baik pak Wal ini nggak dapat dukungan dari
pemerintah. Pihak yang seharusnya memiliki tanggung jawab lebih setelah orang tua
kandung mereka sendiri tentang
pendidikan anak-anak disana. Pak Wal sudah beberapa kali mengajukan proposal ke
pemerintah baik kota ataupun provinsi untuk pengajuan pengadaan buku dan rak di
taman baca nya sana agar buku yang dibaca anak-anak lebih beragam. Tanggapannya
nol. Dari koleksu buku yang hanya 115 sampai kini jadi 1112 semua dari kantong
pribadi pak Wal.
Jadi gengs, yang masih punya buku-buku bekas layak pakai dan
bisa dibaca anak-anak usia SD kelas 1 sampai kelas 6 boleh banget disumbangin
ke rumah uplik. kalau selama ini cuman jogroj dirumah nggak dipakai, setidaknya dibelahan bumi di desa Pledokan sana buku itu akan sangat bermanfaat. yang punya printer bekas dan nggak dipakai,bisa kali juga disumbangkan disana. kemaren sempet ngobrol kalau anak-anak sana untk sekedar fotokopi aja jauh banget sampe 7 KM. itu yang punya motor masih mending bisa naik motor. Nah yang kagag kan kasihan,
Jadi di Rumah Uplik sana selain butuhin sumbangan buku juga Butuh Printer yang bisa buat scan Copy juga untuk mempermudah kegiatan belajar anak-anak sana. bagi yang pengen menyumbang bisa dikirim ke Dusun Resowinangun Desa Pledokan Kecamatan Sumowono pak Waljino. kemaren gue sama rombongan jalan dari semarang kota ( Tugu Muda ) jam 9 pagi sampai lokasi jam 11 an lebih. muter-muter jaug banget sumpah dari kota. kalau yang tahu Bandungan, nah itu masih lurus arah Gedung songo sana. sampai terminal Sumowono ambil arah Temanggung. lurus terus aja nanti ketemu desa Bukusari, belok kanan ketemu desa trayu masih lurus ketemu perempatan desa gelaran belok kiri kemudian maju terus ada gapura desa Pledokan. masuk aja nanya orang sana pak Waljino, udah pada kenal. Catet ya, dari desa ke desa jarak tempuhnya kayak dari kelurahan ke kelurahan kota. jauh! jadi jangan putus asa mencarinya. kalau bingung bisa langsung kontak pak Wal nya langsung 081326162532, siapa tahu berkah.
ini beberapa foto kegiatan kita disana kemaren, boleh dong pamer
0 komentar